Rabu, 09 Desember 2009

bung karno


Proklamator Soekarno (01)

Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.

Proklamator Soekarno (02)

Bung Karno sebagai Guru Bangsa

Oleh Baskara T Wardaya: Di antara banyak predikat yang telah diberikan kepada Bung Karno, patutlah kiranya pada peringatan ulang tahunnya yang ke-102 ini ia juga dikenang sebagai guru bangsa. Sebagai pencetus maupun komunikator, banyak pemikiran penting telah menjadi sumbangan pendidikan tak terhingga bagi negara-bangsa ini.

Proklamator Soekarno (03)

Soekarno Menggugat

Oleh Asvi Warman Adam*: Tidak banyak diketahui umum bahwa tahun 1965-1967 Presiden Soekarno sempat berpidato paling sedikit sebanyak 103 kali. Yang diingat orang hanyalah pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967. Dalam memperingati 100 tahun Bung Karno, tahun 2001 telah diterbitkan kumpulan pidatonya. Namun, hampir semuanya disampaikan sebelum peristiwa G30S 1965.

cut nyak dien


Cut Nyak Dien (1850-1908)

Perempuan Aceh Berhati Baja


Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan oleh negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Tapi seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.

Melihat keadaan yang demikian, anak buah Cut Nyak Dien merasa kasihan kepadanya walaupun sebenarnya semangatnya masih tetap menggelora. Atas dasar kasihan itu, seorang panglima perang dan kepercayaannya yang bernama Pang Laot, tanpa sepengetahuannya berinisiatif menghubungi pihak Belanda, dengan maksud agar Cut Nyak Dien bisa menjalani hari tua dengan sedikit tenteram walaupun dalam pengawasan Belanda. Dan pasukan Belanda pun menangkapnya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itulah akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.

Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964

pahlawan yos sudarso


Yos Sudarso (1925-1962)

Gugur di Atas KRI Macan Tutul

Pahlawan Nasional Laksamana Madya Yosaphat Sudarso, yang lebih dikenal dengan panggilan Yos Sudarso, kelahiran Salatiga, 24 November 1925, gugur dalam pertempuran di atas KRI Macan Tutul dalam pertempuran Laut Aru 13 Januari 1962 pada masa kampanye Trikora. Namanya kini diabadikan pada sebuah KRI dan pulau.

Josephine F Siti Kustini (1935-2006)

Ny Yos Sudarso Telah Tiada


Istri pahlawan Aru, Komodor Laut Yos Sudarso, Nyonya Josephine F Siti Kustini, kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 1935, meninggal dunia dalam usia 71 tahun, Sabtu 2 September 2006 pukul 14.00, di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Mintohardjo, Jakarta. Almarhumah meninggal dunia akibat penyakit jantung dan radang paru-paru.


Menurut siaran berita dari Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (AL) jenazah dimakamkan hari Senin, 4 September 2006 di Tempat Pemakaman Umum Kaliwuluh, Desa Kaliwuluh, Kecamatan Kebak Kramat, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pemberangkatan jenazah dari Jakarta menuju Surakarta menggunakan pesawat TNI AL dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Senin 4/9 pukul 11.00.


Pastor Luarens memimpin misa arwah di kediaman almarhumah di Jalan Cimandiri Nomor 12, Cikini, Jakarta Pusat. Datang melawat ke rumah duka, antara lain, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn) Sudomo, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, dan sesepuh TNI AL lainnya.


Ny Siti Kustini menikah dengan Yos Sudarso tahun 1955 dan dikaruniai lima anak, dua orang di antaranya telah meninggal dunia. Dia adalah orang yang berdisiplin, selalu tepat waktu, termasuk menunaikan ibadah agama dengan mengikuti misa kudus hampir setiap hari.